Minggu, 27 Mei 2018

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN


MODEL PERLINDUNGAN HUM KONSUMEN TERHADAP
PERIKLANAN SURAT KABAR
(STUDI KASUS SURAT KABAR LOKAL
DI SURAKARTA)

Muhammad Khoiruman
STIE AUB Surakarta
Khoiruman-stieaub@yahoo.com

Abstract
The position of consumers against employers can be fairly weak in world trade. Normatively, the rights of consumers in industrial relations are protected by the Act. One of the rights owned by the consumer is going to the correct information Rights. But the world of business through advertising service, not infrequently making misleading information and does not provide full information to consumers. The protection of consumers from advertisements in the newspaper had been accommodated in Law No:
8/1999 on Consumer Protection, Law No: 40/1999 on PERS, Act No: 7 th 1196 On Food and PP 69 on Food Label and Advertisement. In this study, a lot of ads that aired in newspapers, notwithstanding the provisions of existing law. As for the legal protection for consumers is: The formation of laws advertising, the establishment clause of censor print media advertising, the establishment clause which obliges to publicly misleading advertising to the general public, the establishment of the chapter on standardization of formats of advertisements in newspapers and the increasing role of institutions consumer protection NGOs.

Keywords: advertising astray, legal protection of consumers, advertising



Abstrak
Posisi konsumen terhadap pengusaha bisa terbilang lemah dalam dunia perdagangan. Secara normatif, hak hak konsumen dalam hubungan industri dilindungi oleh Undang Undang. Salah satu hak yang dimiliki konsumen adalah Hak akan informasi yang benar. Namun dunia usaha melalui jasa periklanan, tidak jarang membuat informasi yang menyesatkan dan tidak memberikan informasi yang utuh kepada konsumen. Perlindungan terhadap konsumen dari iklan di surat kabar sudah terakomodasi dalam UU
No: 8/1999 tentang Perlindungan konsumen, UU No: 40/1999 tentang PERS, UU No:7 th 1196  Tentang Pangan,  dan PP No.69 tentang Label dan Iklan Pangan. Dalam penelitian ini, banyak iklan yang ditayangkan di surat kabar menyimpang dari ketentuan perundangan yang berlaku. Adapun perlindungan hukum bagi konsumen adalah : Pembentukan undang-undang periklanan, penetapan pasal tentang badan sensor iklan media cetak, penetapan pasal yang mewajibkan untuk mengumumkan secara terbuka iklan yang menyesatkan kepada masyarakat luas, penetapan pasal  tentang standarisasi format iklan di surat kabar dan peningkatan peran lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

Kata Kunci : iklan sesat, perlindungan hukum konsumen, periklanan
                                            










Pendahuluan
1.       Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 4 menyebutkan adanya Hak atas informasi.Yang merupakan adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen. Hak akan informasi terhadap barang atau jasa amat penting bagi konsumen, karena selama ini kedudukan konsumen yang lemah terhadap dunia usaha
Kemajun teknologi dan indormasi merubah wajah indsutri, karena muncul azas efisiensi dalam rangka produksi barang dan jasa. Kemajuan ini membantu dunia usaha mencapai target laba yang diinginkan. Namun pada dasarnya, keduanya memiliki keterkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan para konsumen, maka konsumenlah yang pada umumnya akan
merasakan dampaknya.
Kebutuhan akan informasi, menurut Troelstrup, pada saat ini lebih dibutuhkan dibandingkan lima puluh tahun lalu, hal ini dikarenakan produk dan jenis barang lebih bervarian, sehingga
meningkat daya beli masyarakat. terlebih dewasa ini, perkembangan teknologi dan informasi berkembang amat pesat, sehingga lebih mudah mengakses pasar yang lebih luas, hal ini tentu menumbuhkan segmentasi yang beragam bagi produsen ataupun penjual.
Iklan (advertising) merupakan salah satu bentuk penyampaian informasi mengenai segala sesuatu yang bernilai, termasuk barang dan/atau jasa dari pelaku usaha kepada konsumennya. Dalam hal ini kedudukan Iklan sangat penting dalam membantu memperkkenalkan produk atau jasa yang ditawarakan kepada konsumen. Masyarakat sebagai konsumen, pada dasarnya memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan lengkap mengenai barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
 Iklan pada dasarnya dapat disampaikan di antaranya melalui media cetak (surat kabar, brosur, majalah, poster, leaflet, dan sebagainya), media elektronik baik media audio maupun audio visual (radio, televisi, film, video dan sebagainya), media luar ruang (billboard, neon sign, spanduk, dan bentuk yang lainya sebagainya), dan lain-lain. Dalam hal ini, Peran media amatlah strategis bagi perkembangan periklanan. Salah satu perkembangan Iklan yang cukup pesat adalah surat kabar cetak. Koran sebagai salah satu media periklanan merupakan sarana
penyampaian informasi yang popular di memasyarakat.
Para Pelaku usaha dalam kegiatan mengiklankan produknya di media cetak atau elektronik haruslah tetap mempunyai itikad yang baik. Adapun, jika terjadi kasus konsumen yang dirugikan akibat produk yang tidak sesuai dengan periklanan. Dengan demikian, bagi para konsumen, perlu ada semacam perlindungan terhadap iklan iklan yang menyesatkan. Dalam hal ini posisi konsumen cukup lemah terhadap pelaku usaha, karena dalam proses produksi barang maupun jasa, konsumen tidak dilibatkan.
Media sebagai perantara antara pelaku usaha dan konsumen, dihadapkan pada dua hal antara memenuhi kebutuhan sumber pendapat atau memenuhi hak bagi konsumen untuk menerima kebenaran akan informasi yang ia dapat. Dalam hal in, Media dapat sebagai gate keeper bisa bsersikap lebih selektif terhadap informasi yang tidak benar dari produk atau jasa yang diiklankan, adapun iklan yang berisi kesesatan apabila ditayangkan, tentunya akan menimbulkan keresahan bagi masyarakat.



2. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah perlindungan hukum konsumen terhadap iklan menyesatkan di surat kabar?
b. Seberapa jauh iklan di surat kabar sesuai dengan perundangan yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen ?
c. Bagaimana model periklanan surat kabar dalam perspektif perlindungan konsumen?

Pembahasan
1. Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Iklan Menyesatkan di Surat Kabar
Point penting Perlindungan atas kepentingan konsumen adalah kenyataan bahwa pada umumnya para konsumen selalu berada dipihak yang dirugikan. Iklan merupakan bentuk promosi dari Produsen kepada Konsumen tentang karakteristik dan spesifikasi barang atau jasa yang ditawarkan. Namun pelaku usaha membuat sebuah iklan yang disajikan tanpa memberikan
informasi utuh mengenai produk barang atau jasa yang bersangkutan, sehingga menimbulkan kesesatan informasi bagi konsumen.
Iklan yang menyesatkan yang merupakan bagian  dari praktek bisnis tidak sehat. Sungguhpun begitu, di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, Australia,dan New Zealand. Belum ada rumusan yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan Iklan yang menyesatkan. Sungguhpun begitu
 tetapi dalam The FTC’s Deception Policy Statement  dijelaskan bahwa :
“An Ad is deceptive if it contains a statement – or omits information – that:
a. is likely to mislead consumers acting reasonably under the circumstances; and
b. is “material” – that is important to a consumer’s decision to buy or use the product”.

          Milton Handler berpendapat, Iklan Menyesatkan  (False Advertising)  adalah “jika representasi tentang fakta yang disajikan dalam iklan adalah keliru. Rayuan dan bujukan yang terepresentasi dalam iklan mengenai barang maupun jasa, pada dasarnya dibuat dengan tindakan curang untuk menipu konsumen.
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) di Indonesiapun tidak merumuskan dengan tegas pengertian iklan menyesatkan, namun dalam Pasal 10 Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, meneegaskan: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan. Mempromosikan, mengiklankan atau membuat penyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”
Pengaturan mengenai perlindungan konsumen dari Iklan yang menyesatkan, sungguhpun tidak terumus secara normative. Namun dapat dilacak dalam peraturan perundangan lainya yang memiliki keterkaitan, yaitu :


2.     UU Pers,
UU Pers pada dasarnya tidak mengatur secara tegas mengenai iklan yang menyesatkan. Hanya saja, dalam Pasal 13 UU Pers terdapat ketentuan mengenai larangan muatan iklan bagi perusahaan periklanan yang dimasukkan dalam Bab IV mengenai perusahaan pers, dijelaskan bahwa perusaaan Pers dilarang mengiklankan :
a.   Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau menganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b.   Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.    Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

Rumusan yang ada memang terlalu abstrak dan general. Dalam hal ini Pasal 13 UU Pers ini adalah, masih sangat terbatasnya materi/muatan iklan yang diatur, belum mencakup larangan terhadap materi informasi iklan yang dapat menyesatkan konsumen. Sehingga patut dipertimbangkan, untuk memasukkan larangan terhadap materi informasi iklan menyesatkan tersebut pada penyempurnaan UU Pers di masa yang akan datang.


3.     UU Perlindungan Konsumen,
Kelahiran UUPK membawa angin baru dalam perlindungan kepada konsumen. UPK mampu mengatasi kelemahan yang terdapat di luar UUPK, termasuk aspek hukum publiknya telah dapat diatasi.
Ketentuan- ketentuan tentang tujuan, hak dan kewajiban, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, ketentuan tentang pencantuman klausula baku tanggungjawab pelaku usaha,
pembinaan dan pengawasan, tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, diharapkan dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen, serta menciptakan kemandirian konsumen dalam bertransaksi dengan pelaku usaha. Pada dasarnya, UUPK merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum UUPK. Namun ketentuan di luar UUPK tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UUPK atau tidak bertentangan dengan UUPK Seusia dengan Pasal 64 Bab XIV tentang ketentuan peralihan.
Ketentuan khusus dalam UUPK, pada dasarnya bertujuan mengantikan atau menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di luar UUPK. Misalnya, ketentuan mengenai pembuktian kesalahan dalam Pasal 1865 KUH Perdata yang meletakkan beban pembuktian kepada konsumen, diganti dengan asas pembuktian terbalik dalam Pasal 22, dan Pasal 28 UUPK, yang meletakkan beban pembuktian kepada pelaku usaha.
Mengenai ketentuan tentang Periklanan, UUPK hanya memuat bersamaan dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaiti dalam Pasal 9, 10, 12, 13, 17 dan Pasal 20 UUPK. Larangan larangan dalam pasal tersebut berlaku bagi para pihak yang terlibat dalam proses pembuatan periklanan, yaitu perusahaan pengiklan, media massa, baik elektronik
maupun non-elektronik. Secara bersamaan, mereka bertanggungjawab dalam mencegah terjadinya informasi yang menyipang dari sebuah iklan.

4.     UU No.7 Tahun 1966 tentang Pangan, PP No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta Etika Pariwara Indonesia
Informasi yang terdapat pada label pangan, atau melalui iklan sangat diperlukan bagi masyarakat. Hal ini tidak lepas, konsumen bisa secara tepat memilih, membeli, dan mengkonsumsi makanan. Informasi yang salah bisa berdampak terhadap kesehatan para konsumen. Merespon tindak lanjut dari ketentuan Pasal 35 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan maka pemerintah merasa berkepentingan untuk mengeluarkan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, sebagai ketentuan khusus dari UU tersebut.
Pasal 1 huruf 4 PP No. 69 tahun 1999 mendefinisikan iklan pangan sebagai setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai iklan makanan terdapat dalam Pasal 44 sampai Pasal 58 PP No. 69 tahun 1999. Ketentuan tentang kewajiban periklanan  dapat diringkas sebagai berikut :

a.    Iklan yang memuat keterangan tentang telah terpenuhinya persyaratan agama atau kepercayaan (Pasal 46 PP 69 tahun 1999);
b.   Iklan yang memuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan (Pasal 50 PP 69 tahun 1999);
c.    Iklan yang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat (Pasal 53 PP 69 tahun 1999);
d.   Iklan tentang pangan yang terbuat dari bahan setengah jadi atau bahan jadi yang dinyatakan bahwa pangan tersebut terbuat dari bahan yang segar (Pasal 55 PP 69 tahun 1999)
e.    Iklan yang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan telah diperkaya dengan vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lainnya sepanjang hal tersebut benar (Pasal 56 PP 69 tahun 1999).
f.     Seberapa jauh iklan di surat kabar sesuai dengan perundangan yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen- Studi kasus Solopos.

Solo Pos adalah salah satu media iklan di Solo Raya, selain Solopos, di Soloraya terdapat media iklan serupa  semacam koran Joglo Semar, Jawa Pos dengan radar Solo-nya, Suara Merdeka dan surat kabar nasional lainya. Mereka bersaing untuk mendapatkan klien, karena memang salah satu pendapatan bagi Media dewasa ini adalah menggantungkan kepada Iklan.
Media sebesar Solopos, tentu tidak sekali dua kali mendapatkan complain dengan adanya penyesatan informasi dari iklan yang mereka tampilkan. Ada beberapa Iklan yang ditampilkan, yang menunjukan indikasi adanya penyesatan informasi,  diantaranya :
a.Penyesatan dalam promosi barang dan/atau jasa dengan cara melebih-lebihkan (puffery) kualitas, dan sifat suatu produk, dengan membuat persepsi produk. Hal ini terjadi pada Iklan “ALBI GURAA” herbal batuk reaksi cepat pada Koran Harian Solo Pos tanggal 19 November 2011. Iklan tersebut memberi informasi tentang keunggulanya menyembuhkan berbagai macam penyakit, dan produk mereka sudah bisa teruji. Namun  Iklan menonjolkan klaim-klaim semata tanpa disertai pembuktian konkret, merupakan salah satu bentuk penyesatan informasi.
b. Iklan “AFIS SUSU KEDELAI PLUS ROSELLA” yang dimuat di Harian Solo Pos tanggal 8 Oktober 2011. Iklan tersebut sekedar memberi informasi bahwa “produk aman bagi lambung” tanpa ada dukungan atas klaim tersebut. namun tanpa diserta dengan sebuah bukti yang konkrit, iklan ini termasuk penyesatan infomasi.
c.Iklan PT.SOLO INDONESIA UTAMA” yang dimuat di Solo Pos tanggal 24  Desember 2011 yang memberikan informasi bahwa untuk pembelia New Karimun Estilo hanya dengan besaran uang muka 5 Juta, dan 10 juta sebagai uang angsruan pembelian Suzuki Splash. Informasi harga barang yang tertera tidak jelas, penggunaan 5 jutaan hanya sebagai pembulatan, tanpa diketahui nilai pastinya. Hal ini menimbulkan bias tafisr yang membingungkan konsumen.
d. Iklan XL yang dimuat di Solo Pos pada 8 November 2011. Iklan ini mengabarkan bahwa pelanggarn akan menerima“gratis 10.000 SMS seharian kesemua operator setelah SMS Rp 400”. Bentuk Iklan yang demikian, merupakan bentuk iklan yang dilarang dalam Etika Pariwara, karena menggunakan istilah  “gratis”. Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila pada kenyataanya konsumen harus membayar biaya lain.

Keempat contoh diatas, membuktikan adanya kesimpangsiuran dalam memberikan informasi yang tidak utuh terhadap konsumen. Hal ini tentu bertentangan dengan Hak mendapatkan Ha katas informasi yang benar, sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Yusuf Sofie mengungkapkan, bahwa membahas norma etik, hukum dan tanggung jawab dalam periklanan bukanlah hal yang mudah dengan dasar dua pertimbangan. Pertama, kegiatana periklanan merupakan kegiatan yang melibatkan banyak pelaku ekonomi. Disarming itu juga melibatkan konsumen dalam jangkauan yang cukup luas. Kedua, masalah periklanan sendiri dalam pembidangan hukum di Indonesia lebih banyak dikelompokkan dalam bidang hukum administrasi negara, khususnya kelompok hukum pers, yaitu UU Pers no 40 tahun 1999.
UU Pers tidak mengatur tentang periklanan secara spesifik, hanya dalam pasal terntentu melarang disajikan konten. Semacam pelarangan tentang zat akditif. Wahyu Widodo selaku Manajer Periklanan Solo Pos menjelaskan , pasal 13 undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 yang dijadikan dasar oleh manajemen Solo Pos untuk menyaring iklan yang akan dimuat di Solo Pos, sehingga diharapkan informasi produk yang diiklankan tidak akan merugikan public.

2.     Model Periklanan Surat Kabar dalam Perspektif Perlindungan Konsumen
Asumsi bahwa Konsumen selalu berada dalam pihak yang dirugikan, menjadi satu alasan untuk memberikan proteksi terhadap kepentingan konsumen dalam sebuah kegiatan bisnis. Ketatnya kompetisi bisnis memicu para pelaku usaha untuk menerapkan cara-cara pemasaran yang kreatif, yang kadang sadar atau tidak sadar merugikan konsumen. Misalnya dengan cara iklan yang menggunakan promosi yang bias tafsir, menonjolkan kekurangan, sampai memberikan informasi yang tidak utuh.
Konsumen sebagai pihak yang tidak mengetahui proses produksi, terkadang kurang jeli dalam melihat rayuan dalam Iklan, sehingga mereka terbujuk rayuan, dan terbuka kemungkinan terjaddi kerugian, baik dikarenakan bagi konsumen karena ketidakmengertian informasi. Dalam  Perlindungan terhadap kepentingan konsumen dari Iklan Iklan yang merugikan, dapat dilakukan dengan langkah langkah sebagai berikut :

a.     Pembentukan Undang-Undang Periklanan
Undang-undang yang mengatur periklanan secara normative belum diatur  khusus di Indonesia. Padahal hal ini cukup urgent untuk membentuk etika dalam beriklan, sekaligus melindungi kepentinga konsumen dari iklan iklan yang bertentangan dengan norma noram yang berlaku dalam masyarakat.
Pengaturan tentang Iklan di Indonesia masih menginduk kepada Etika Pariwara Indonesia dan pasal dalam undang-undang lain yang mengatur tentang periklanan. Secara sederhana, swakramawi dalam industri periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa: “suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan olehpara pelakunya sendiri”.
Secara sederhana, swakramawi dalam industri periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa: “suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan olehpara pelakunya sendiri”.
Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 4 (empat) alasan utama penerapan asas swakramawi tersebut:
(i)                         Swakrama menyiratkankepercayaan yang amat besar dari industri periklanan kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka dorongan naluriah yang luar bisaa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka.
(ii)                     Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bermasyarakat.
(iii)                  Swakrama dapatmeniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan.
(iv)                   Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain.
Etika Swatantra meski memberi azas azas dalam mengatur periklanan, namun memiliki kelemahan, Pertama.tidak adanya sanski yang mengatur, sehingga bisa dianggap Etika Swatantra tidak cukup ‘galak’ untuk mengatur tentang Periklanan di Indonesia. Kedua, kenyataanya banyak perusahaan periklanan yang tidak belum mengikuti EPI (Etika Pariwara Indonesia)
Urgensi lainya yang melatarbelakangi perlunya pengaturan khusus tentang periklanan adalah Ketiadaan lembaga yang terintegritas untuk mengatur periklanan. Komisi Pengawas Penyiaran Indonesia (KPPI) hingga Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang belum sebenarnya menjalankan fungsinya secara optimal. Meskipun sudah didukung dengan UU penyiaran No. 32 Tahun 2002, UU No. 8 Tahun 1999  Perlindungan Konsumen.
b.           Penetapan Badan Sensor Iklan Media Cetak
Industrialisasi yang cukup pesat, disatu sisi membuat perekonomian tumbuh pesat. Dunia Usaha sebagai bagian dar industry, memiliki kepentingan dalam memanfaatkan kemajuan perekonomian. Dengan memanfaatkan Iklan, Perusahaan menngkatkan penjualan barang daganganya, hal ini yang membuat banyak perusahaan berlomba lomba membuat iklan sekreatif mungkin. Sungguhpun begitu, Iklan Iklan yang memberi informasi yang menyesatkan, memberi kerugian bagi para konsumen.
Informasi menyesatkan yang diberikan sebuah iklan seharusnya tidak bisa lolos untuk dinikmati konsumen lewat berbagi media, untuk itu iklan di setiap media harusnya melewati sebuah filter yang ketat sebelum tayang untuk diinformasikan kepada masyarakat sebagai calon konsumen barang dan atau jasa. Namun hal ini tidak dapat berjalan, karena tidak ada lembaga yang berwenang melakukan penyensoran sebuah iklan, kecuali di industry pertelevisian. Untuk iklan di media televise, iklan yang akan ditayangkan selalu meminta persyaratan kepada distributor, produser dari luar stasiun ataupun bagian akuisisinya, untuk melengkapai dokumen penyiaran setiap program dan iklan yang akan disiarkan dari lembaga dari lembaga sensor film, sensor iklan televisi di Indonesia dilakukan oleh Badan Sensor Film Indonesia.
Hal tersebut tidak terjadi pada iklan iklan yang ada dalam media massa cetak, yang tirasnya cukup menjangkau. Serta mampu menjangkau di wilayah yang media semacam televise pun tidak bisa menjangkau, semacam di pedesaan terpencil. Bagi media periklanan versi cetak, ketiadaan lembaga yang berfungsi sebagai filter, harus disiasati dengan cara berikut:
Untuk iklan di media televisi hal tersebut sudah dilakukan bahwa setiap iklan yang akan ditayangkan  ditelevisi (bagian penata program) selalu meminta persyaratan kepada distributor, produser dari luar stasiun ataupun bagian akuisisinya, untuk melengkapai dokumen penyiaran setiap program dan iklan yang akan disiarkan dari lembaga dari lembaga sensor film, sensor iklan televisi di Indonesia dilakukan oleh Badan Sensor Film Indonesia.
Permasalahan yang mungkin timbul jika hal tersebut dilaksanakan untuk media cetak termasuk koran adalah kompleksitas dan variasi iklan yang ada di media surat kabar yang begitu beragam, dari Perusahaan Multinasional hingga perorangan  banyak menggunakan surat kabar sebagai media promosi mereka, dari iklan baris hingga iklan berwarna 2 halaman penuh menjadi bagian dari variasi iklan di surat kabar. Melihat kenyataan yang ada seolah tidak mungkin jika seluruh iklan yang akan tayang di surat kabar harus melalui lembaga sensor iklan.  Solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah :
(1)          Untuk iklandisplay(iklan berukuran minimal dua kolom hingga 1 halaman penuh) nasional dengan pemasang iklan perusahaan  nasional atau multi nasional harus melewati lembaga sensor iklan yang dibentuk pemerintah atau ada pemberian label bahwa iklan tersebut sudah lolos sensor.
(2)          Untuk iklan kolom dan iklan baris,  Iklan ini disebut dengan iklan baris karena pesan yang dibuat hanya terdiri dari beberapa baris kata/kalimat saja dan biaya yang dikenakan dihitung perbaris, dan harganya relatif murah. Bisaanya iklan baris ini tidak lebih dari 3-4 baris dengan luas tidak lebih dari satu kolom. Begitu juga Untuk iklan kecik (yang berisi pesan pesan singkat, yang terdiri dari beberapa karakter). Pihak yang berwenang dalam mensensor maupun meyaring iklan iklan yang diduga membuat kerugian bagi konsumen, maka hendaknya perusahaan Pers membentuk Bagian Sensor Iklan Internal yang masih terintegrasi dengan Perusahaan Pers itu sendiri.

c. Mewajibkan Untuk Mengumumkan Secara Terbuka Iklan yang Menyesatkan Kepada Masyarakat Luas.
Badan yang berwenang menilai suatu iklan menyesatkan atau tidak, hendaknya mensosialisasikan kepada masyarakat sekaligus. Semisal tentang letak pelanggaran dan efek pelanggaran iklan maka sangat bermanfaat dalam rangka pembelajaran kepada masyarakat, membangun kesadaran masyarakat  sekaligus meningkatkan kemampuan “proteksi diri” terhadap iklan yang menyesatkan.Pada dasarnya, Iklan yang tergolong menyesatkan bisa diselesaikan sendiri antara badan yang berwenang misalnya BPOM ( Badan Pengawas Obat Dan Makanan) yang melarang peredaran produk produk yang berbahaya bagi masyarakat. Namun Azas Transparansi yang merupakan syarat dari sebuah pemerintahan yang baik harusnya diperhatikan oleh BPOM dengan mengumumkan iklan sebuah produk yang dinilai membayakan atau memberi informasi yang tidak benar.

d.       Standarisasi Format Iklan di Surat
KabarMenghindari adanya informasi yang bisa menyesatkan bagi konsumen, maka Format iklan di surat kabar harus dibuat standar yang jelas. Format iklan di surat kabar harus dibuat standar yang jelas untuk menghindari adanya iklan yang bisa menyesatkan konsumen, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam standarisasi format iklan
1)  Format Iklan Baris : kadangkalan iklan ini dinamakan iklan kecik, di surat kabar lokal Solo Pos, Jenis iklan ini termasuk cukup dinikmati para pengiklan. Namun karena minimalnya informasi yang bisa dimuat di iklan baris, maka  harus ditetapkan iklan produk/jasa apa yang bisa dimuat di iklan baris. Iklan obat-obatan adalah salah satu iklan yang perlu dihindari dari jasa iklan kecik ini. Seharusnya dalam iklan obat, bisa disajikan lengkap indikasi, kandungan dan efeks samping dari penggunaan obat.
2)  Format iklan advetorial : iklan advertorial adalah Iklan dalam bentuk berita, yang memiliki kesan promosi namun dituliskan dalam formant dan bahasa berita. Biasanya hal ini dibuat oleh pihak media, bukan atas nama inisiatif pihak pemasang iklan. Umumnya berkisar: pengobatan alternatif, jasa penyelenggaraan even, makanan wisata, institutonal advertising, dan sebagainya. Iklan semacam ini bisa menyesatkan konsumen karena menganggap bahwa iklan tersebut adalah berita bukan sebuah iklan.


Kesimpulan 
1.   Perlindungan terhadap kepentingan konsumen cukup diperlukan, mengingat konsumen selalu ada dalam posisi yang dirugikan. Salah satu upaya produsen menarik minat konsumen adalah menggunakan iklan untuk bisa menawarkan kelebihan dan karakteristik produk yang ditawarkan. Namun permasalahan justru terletak kepada iklan yang ditampilkan, hal ini tidak lain karena melalui iklan inilah potensi penyesatan informasi terhadap konsumen bisa terjadi. Hal ini menyebabkan konsumen mengalami kesesatan dalam menyerap informasi. meskipun UU perlindungan konsumen memberikan perlindungan terhadap konsumen atas informasi yang benar.
2.   Surat kabar merupakan salah ssatu media yang digunakan sebagai promosi iklan. Dalam hal penyesatan informasi, Surat kabar memiliki andil dalam melakukan penyesatan informasi tersebut. Disatu sisi persaingan yang sangat ketat antara media satu dengan media lain, membuat fungsi pengawasan terhadap iklan iklan yang berpotensi memyesatkan tidak maksimal. Dalam penelitian ini terbukti bahwa banyak iklan yang ditayangkan di surat kabar menyimpang dari ketentuan perundangan yang berlaku.
3.   Untuk tercapainya tujuan semua pihak yaitu hubungan yang saling menguntungkan, tidak ada  pihak yang dirugikan maka dalam penelitian ini dibuat tentang model perlindungan konsumen terhadap iklan menyesatkan di media surat kabar yaitu :
a.    Pembentukan undang-undang periklanan.
b.   Penetapan badan sensor iklan media cetak
c.    Kewajiban untuk mengumumkan secara terbuka iklan yang menyesatkan kepada masyarakat luas
d.   Penetapan standarisasi format iklan di surat kabar
























DAFTAR PUSTAKA
·        Arif , Barda Nawawi. 2001  Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

·        Atmasasmita,Romli,Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis (Busines Crime), Kencana, Jakarta.

·        Fachrudin, Andy. 2004. Dasar-dasar Penyiaran.Pusat Pengembangan Bahan Ajar UMB, Medan.

·        Hadisoeprato,Hartono.2004. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty.Yogyakarta.

·        Hamblin, C. and Wright, F.B. 1988. Introduction to Commercial Law. Sweet and Maxwell.London.

·        Handler, Milton. 1972, Business Tort, Case and  Materials. Foundation Press. New York

·        Harianto Dedy, 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Menyesatkan, Ghalia Indonesia, Bogor

·        Harold P. Weinberger,Jonathan M. Wagner And Norman C. Simon. 2002. Testing Key In False Advertising Cases New York Law Journal

·        Lowe, B.W. 1993. Periklanan Yang Efektif.: Elex Media Komputindo. Jakarta.
·        Lysonski, Steven, dan Duffy, Michael F. 1992. “The New Zealand Fair Trading Act of 1986: Deceptive Advertising”, The Journal of Consumer Affair, Vol. 26. Madison.

·        Miru, Ahmadi, dan Yodo, Sutarman. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo. Jakarta

·        Miru,Ahmadi, dan Yodo,Sutarman,2004. Hukum Perlindungan Konsumen,PT Raja Grafindo. Jakarta.

·        Morissan. 2010. Periklanan: Komunikasi Pemasaran Terpadu. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.

·        Nasuition, AZ, 2001 Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Daidit Media, Yogyakarta

·        Nurmadjito. 2000. “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia” dalam Syawali, Husni (ed) Hukum Perlindungan Konsumen. Mandar Maju. Bandung.

·        PP No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia No.131 Tahun 1999)

·        Republik Indonesia, Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia No.99 Tahun 1996)

·        Republik Indonesia, Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia No.42 Tahun 1999)

·        Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pers (lembaran negara republik Indonesia no.166 th 1999)

·        Shimp,Terence A.,2003. Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Edisi ke 5, Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial,Dyah Anikasi.Erlangga. Jakarta.

·        Shofie, Yusuf. 2009. Perlindungan Konsumen & Instrumen-Instrumen Hukumnya. PT Citra Aditya Bakti. Bandung

·        Siahaan, NHT.2005. Hukum Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk.:Panta Rei. Jakarta

·        Soekanto, Soerjono. 1997. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. PR Radja Grafindo Persada. Jakarta

·        Sugihantoro, 2009 . Modul Pengantar Periklanan, Pusat Pengembangan Bahan Ajar, UMB, Medan

·        Sumartono. 2002, Terperangkap Dalam Iklan , Alfabeta. Bandung.

·        Tjiptono Fandy. 1997. Strategi Pemasaran. Penerbit Andi. Yogyakarta
·        http://journals.ums.ac.id/index.php/jurisprudence/article/view/4228/2704



Selasa, 24 April 2018

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)


  A. Pengertian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan intelektual manusia yang memiliki manfaat ekonomi. HAKI dalam dunia internasional dikenal dengan nama Intellectual Property Rights (IPR) yaitu hak yang timbul dari hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk kepentingan manusia. Konsep dasar tentang HaKI berdasarkan pada pemikiran bahwa karya intelektual yang telah diciptakan atau dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan waktu, tenaga dan biaya.

Menurut UU yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan/jasa dalam bidang komersial (goodwill).

Kemudian pengertian HAKI menurut para ahli adalah sebagai berikut :

Menurut Ismail Saleh, HAKI adalah pengakuan dan penghargaan pada seseorang atau badan hukum atas penemuan atau penciptaan karya intelektual mereka dengan memberikan hak-hak khusus bagi mereka, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis.

Menurut Bambang Kesowo, HAKI adalah hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Menurut Adrian Sutedi, HAKI adalah hak atau wewenang atau kekuasaan untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut dan hak tersebut diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku. Kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, sastra, seni, karya tulis, karikatur, pengarang lagu dan seterusnya.


B.     Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)

Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelektual dibagi menjadi dua bagian dimana dua golongan besar hak atas kekayaan intelektual tersebut, yakni:

1. Hak cipta (copyright), yakni hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta suatu karya (misal karya seni untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin bagi orang lain untuk memperbanyak ciptaannya tanpa mengurangi hak pencipta sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta : Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat 1). Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjuk keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra (Pasal 1 ayat 3).

2. Hak kekayaan industri (industrial property rights), yaitu hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak kekayaan industri berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi :

a) Paten, yakni hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta di bidang teknologi. Hak ini memiliki jangka waktu (usia sekitar 20 tahun sejak dikeluarkan), setelah itu habis masa berlaku patennya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten:

- Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 ayat 1).

b) Merk Dagang, adalah hasil karya, atau sekumpulan huruf, angka, atau gambar sebagai daya pembeda yang digunakan oleh individu atau badan hukum dari keluaran pihak lain. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek :

- Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Ayat 1).

- Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya (Pasal 3).

c) Hak Desain Industri, yakni perlindungan terhadap kreasi dua atau tiga dimensi yang memiliki nilai estetis untuk suatu rancangan dan spesifikasi suatu proses industri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :

- Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

-  Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1).

d) Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (integrated circuit), yakni perlindungan hak atas rancangan tata letak di dalam sirkuit terpadu, yang merupakan komponen elektronik yang diminiaturisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu:

- Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.(Pasal 1 Ayat 1).

- Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu. (Pasal 1 Ayat 2).

- Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negera Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut. (Pasal 1 Ayat 6).

e) Rahasia Dagang, yang merupakan rahasia yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau individu dalam proses produksi. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang:

- Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. (Pasal 1 Ayat 1).

- Hak Rahasia Dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbul berdasarkan Undang-Undang ini. (Pasal 1 Ayat 2).

f) Varietas Tanaman, menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman :

- Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) adalah perlindungan khusus yang diberikan Negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh kantor PVT, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. (Pasal 1 Ayat 1).

- Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu. (Pasal 1 Ayat 2).

- Varietas Tanaman adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis yang sama atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. (Pasal 1 Ayat 3).


C.    Dasar Hukum HAKI

Dalam penetapan HAKI tentu berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah :

Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
Undang-undang Nomor 13/1997 tentang Hak Paten
Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of  Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works
Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dapat dilaksanakan. Maka setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak atas pemikiran-pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh dengan mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan  tugas dari Direktorat Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia.






SUMBER:

https://www.kanal.web.id/2016/10/hak-atas-kekayaan-intelektual.html
http://www.pengertianpakar.com/2015/04/pengertian-haki-hak-atas-kekayaan-intelektual.html
https://dhiasitsme.wordpress.com/2012/03/31/hak-atas-kekayaan-intelektual-haki/
http://yuarta.blogspot.co.id/2011/03/klasifikasi-hak-kekayaan-intelektual.html
http://www.berandahukum.com/2016/04/dasar-hukum-hak-kekayaan-intelektual-di.html
http://annisadian-pratiwi.blogspot.co.id/2018/04/hak-atas-kekayaan-intelektual-haki.html?m=1

Jumat, 30 Maret 2018

KASUS PENIPUAN BARANG


                KASUS PENIPUAN BARANG


                Kasus penipuan barang ini terjadi oleh selebgram cantik yaitu Angela Lee. Artis dan model Angela Charlie atau yang dikenal dengan nama Angela Lee (31) ditahan Polres Sleman, DIY, terkait kasus penipuan. Angela ditahan bersama sang suami, David Hardian Sugito (36).
            "Keduanya kita tahan setelah menjalani pemeriksaan pada 5 Februari 2018," kata Kasat Reskrim Polres Sleman, AKP Rony Are, kepada wartawan saat jumpa pers di Mapolres Sleman, Rabu (28/2/2018).
            Rony menjelaskan, kasus yang menjerat suami istri tersebut berawal dari laporan seorang warga Yogyakarta, Santosa Tandyo, yang merasa ditipu oleh Angela dan David terkait kerja sama investasi bisnis tas impor mewah.
            Santoso awal mula menginvestasikan uangnya kepada David untuk bisnis jual beli mobil. Namun seiring waktu, Santoso baru mengetahui jika uang investasi itu justru dipakai David untuk memodali Angela berjualan tas impor. Santoso sempat marah namun diiming-imingi oleh David bahwa bisnis tas impor lebih menjanjikan keuntungannya.
Santoso akhirnya bersedia mengalihkan investasinya untuk bisnis tas impor Angela. Dia mentransfer uang ke rekening David sejak Februari 2017 - Agustus 2017. Selama kurun waktu tersebut Santoso menerima keuntungan seperti apa yang dijanjikan sejak awal oleh David dan Angela, yakni balik modal ditambah keuntungan sebesar 4 persen. Namun memasuki bulan September 2017, investasi Santoso sebesar Rp 12,1 miliar macet. Meski uang itu telah ditransfer, namun dia tidak menerima keuntungan maupun balik modal.
"Saat pelapor menagih ke tersangka, ternyata tas dan jam yang harusnya dijual, justru dipakai tersangka untuk jaminan utang ke orang lain. Merasa ditipu, pelapor lantas melapor ke Polres Sleman pada 24 September 2017," jelas Rony.
Dari kasus ini, polisi mengamankan barang bukti di antaranya 41 tas impor merk Hermes, Chanel, LV Petite, Dior Large, dan empat jam tangan mewah, serta sejumlah buku tabungan dan ponsel.
Akibat perbuatannya, keduanya dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp 10 miliar.
           

KESIMPULAN
Modus penipuan yang dilakukan oleh selebgram Angela Lee dan suaminya ini mendapatkan dampak buruk baginya dan juga pihak orang lain yang telah begitu percaya kepadanya. Jadi apabila ingin membuka bisnis jangan menipu orang lain untuk kepentingan pribadi, dan juga jangan mudah percaya apabila ingin berinvestasi.

 DAFTAR PUSTAKA :