HUBUNGAN SERIKAT KARYAWAN-MANAJEMEN
PENDAHULUAN
Banyak cara yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuan diantaranya adalah
dengan melakukan strategi manajemen yang baik, salah satu hal yang berperan
penting dalam sebuah manajemen adalah Manajemen Sumber Daya Manusia yang
berkaitan langsung dengan Hubungan Karyawan. Hubungan Karyawan adalah hubungan
dari Pemberi Kerja dengan Karyawan di dalam sebuah Perusahaan atau Organisasi
untuk saling berkontribusi dan bersinergi untuk mencapai tujuan atau visi misi
yang telah di rencanakan oleh perusahaan. Serikat karyawan atau union
terbentuk karena para karyawan tidak puas terhadap berbagai kondisi perusahaan.
Kerangka hubungan serikat karyawan dan manajemen terdiri dari 3 aktor (pemeran)
utama : para pekerja dan wakil-wakil mereka (pengurus serikat), para manajer (manajemen) dan wakil-wakil
pemerintah dalam bidang legislatif, yudikatif dan eksekutif. Masing-masing
pihak ini saling ketergantungan, namun mereka tidak seimbang. Pemerintah adalah
kekuatan dominan karena menentukan peranan manajemen dan serikat karyawan
melalui hukum-hukum dalam bidang kepegawaian atau perburuhan.
PEMBAHASAN
1. LANDASAN PERTIMBANGAN PEMBENTUKAN SERIKAT
KARYAWAN
Pada saat pembentukannya, suatu serikat
pekerja/serikat buruh (SP) harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga. Hal ini berdasarkan Pasal 11 Serikat Kerja/Serikat Buruh, yang
berbunyi:
1) Setiap
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
2) Anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat:
·
Nama dan lambang;
·
Dasar negara, asas, dan
tujuan;
·
Tanggal pendirian;
·
Tempat kedudukan;
·
Keanggotaan dan
kepengurusan;
·
Sumber dan
pertanggungjawaban keuangan; dan
·
Ketentuan perubahan
anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Setelah
proses pembentukannya selesai, maka tahapan yang harus dilakukan berikutnya
adalah memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah
Kabupaten atau walikotamadya di mana perusahaan berdomisili) untuk dilakukan
pencatatan atas pembentukan SP tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal 18 UU
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:
1) Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
2) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri:
3) daftar
nama anggota pembentuk;
4) anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga;
5) susunan
dan nama pengurus.
2.
LANGKAH-LANGKAH PIHAK MANAJEMEN
a. Merancang
pekerjaan-pekerjaan yang secara pribadi memuaskan para karyawan.
b. Mengembangkan
rencana yang memaksimumkan berbagai kesempatan individual.
c. Memilih
karyawan yang qualified.
d. Menetapkan
standar prestasi kerja yang adil dan obyektif.
e. Melatih
karyawan dan manajer untuk mencapai tingkat prestasi yang diharapkan.
f. Menilai
dan menghargai perilaku atas dasar prestasi kerja nyata.
3. PERUNDINGAN KOLEKTIF
Perundingan kolektif adalah suatu proses dimana
perwakilan manajemen dan serikat pekerja yang bertemu untuk merundingkan satu
kesepakatan tenaga kerja. Perundingan kolektif ini akan memuat persetujuan
tentang ketentuan khusus menyangkut upah, jam, dan kondisi kerja.
Faktor-faktor
yang menjadi Pengaruh dalam Perundingan Kolektif:
1) Cakupan
Rundingan yaitu banyaknya buruh yang akan terkena hasil perundingan atau
perjanjian kerja, seperti dalam suatu departemen, devisi, perusahaan atau
keseluruhan karyawan dalam suatu industri.
2) Tekanan-tekanan
perundingan serikat karyawan. Selain penggunaan taktik tawarmenawar, ada tiga
tipe tekanan yang lebih kuat yang kadang-kadang digunakan:
a. Pemogokan
b. Mencegah
atau menghalangi
karyawan-karyawan yang ingin masuk kerja sewaktu diadakan pemogokan.
c. Boycotts.
3) Peran
pemerintah. Serikat karyawan dan buruh sering lebih mempersilahkan intervensi
pemerintah untuk menyelesaikan berbagai masalah hubungan kerja mereka.
Interverensi ini paling tidak dalam bentuk segala perundang-undangan dan
peraturan di bidang perburuhan.
4) Kesediaan
perusahaan. Kesediaan perusahaan untuk berunding secara terbuka dengan serikat
karyawan ditentukan oleh kemampuan atau kekuatan perusahaan, filsafat
kepemimpinan, gaya manajemen dan kemungkinan menggunakan alat-alat pemaksaan
(misal: pemecatan, skorsing, demosi dan sebagainya).
4. KESEPAKATAN KERJA BERSAMA
Adalah
perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau
beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Peraturan-peraturan
yang mendasari diperlukannya KKB/PKB antara lain adalah:
1) UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2) UU
No. 1 Tahun 1954 tentang Perjajian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan
3) UU
No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya
Dasar-dasar daripada Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
4) PP
No.49 Tahun 1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan
5) Kepmenaker
No.Per-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja
Bersama
5. HUBUNGAN PEKERJA-MANAJEMEN
a. Hubungan
yang kurang harmonis
Tujuan para pekerja, serikat pekerja,
manajemen, dan pemerintah seringkali tidak berjalan seiring. Sehingga, sering
muncul hubungan yang kurang harmonis, dimana pekerja dan manajemen berusaha
untuk memperoleh potongan yang lebih besar dari pendapatan yang ada. Secara
historis, SP mengambil sikap yang kurang harmonis dalam interaksinya dengan
manajemen. Fokus tuntutannya adalah pada upah, jam kerja, dan kondisi kerja
sebagai usaha untuk memperoleh “lebih banyak dan lebih baik” dari yang selama
ini diterima dari perusahaan.
b. Hubungan
Kooperatif
Dalam satu hubungan yang kooperatif, peran
serikat pekerja adalah sebagai mitra, bukan pengkritik, dan SP mempunyai
tanggung jawab yang sama dengan manajemen untuk mencapai solusi yang kooperatif
yang menghasilkan sesuatu seperti yang ditunjukkan dalam “kemitraan dalam
perundingan kolektif”. Oleh karenanya, hubungan yang kooperatif membutuhkan
suatu hubungan dimana serikat pekerja dan manajemen bersama-sama memecahkan
masalah, saling berbagi informasi, dan mencari pemecahan yang integrative.
6. TINDAKAN DISIPLIN DAN PENGADUAN
Disiplin karyawan dan prosedur menangani
keluhan karyawan digunakan oleh organisasi untuk memecahkan masalah-masalah
yang berkaitan dengan pelang-garan peraturan kerja organisasional atau masalah
kerja yang buruk. Apabila seorang karyawan mempunyai keluhan terhadap
organisasi atau manajemen, sewajarnya karyawan tersebut menggunakan prosedur
untuk menyelesaikan masalahnya.
Agar dapat berkompetisi secara efektif,
organisasi harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa mereka yang
berkinerja bagus dimotivasi untuk tetap bertahan bekerja bersama organisasi,
sedangkan mereka yang memiliki kinerja rendah didorong untuk meningkatkan
kinerjanya atau kalau perlu dipaksa untuk meninggalkan organisasi.
Bagaimanapun juga , mempertahankan orang-orang yang berkinerja tinggi tidaklah
selalu mudah. Untuk melaksanakan hal tersebut, organisasi dapat menggunakan
program-program seperti, pengembangan karyawan, pengelolaan kinerja dan
pengembangan karir.
KESIMPULAN
Serikat pekerja adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh pekerja,
dari pekerja, dan untuk pekerja yang bertujuan untuk melindungi pekerja,
memperjuangkan kepentingan pekerja serta merupakan salah satu pihak dalam
bekerja sama dengan perusahaan. Perundingan kolektif adalah
suatu proses dimana perwakilan manajemen dan serikat pekerja yang bertemu untuk
merundingkan satu kesepakatan tenaga kerja. Perundingan kolektif ini akan
memuat persetujuan tentang ketentuan khusus menyangkut upah, jam, dan kondisi
kerja. Tujuan para pekerja, serikat
pekerja, manajemen, dan pemerintah seringkali tidak berjalan seiring. Sehingga,
sering muncul hubungan yang kurang harmonis, dimana pekerja dan manajemen
berusaha untuk memperoleh potongan yang lebih besar dari pendapatan yang ada.
Secara historis, serikat pekerja mengambil sikap yang kurang harmonis dalam
interaksinya dengan manajemen. Fokus tuntutannya adalah pada upah, jam kerja,
dan kondisi kerja sebagai usaha untuk memperoleh “lebih banyak dan lebih baik”
dari yang selama ini diterima dari perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar